Secara Umum
Bojonegoro,
sekarang adalah salah satu kabupaten yang berada di Jawa Timur. Kabupaten ini
berada di Jawa bagian utara. Berbatasan langsung dengan Ngawi, Blora, Lamongan…..
Kabupaten ini dilewati oleh Bengawan Solo, tepatnya di daerah Malo dan Kasiman[1]
oleh karenanya daerah di pinggiran sungai cukup subur. Akan tetapi, daerah
secara keseluruhan bertanah kapur. Hal ini mengakibatkan usaha pertanian yang
tidak terlalu baik, sedangkan pengairan juga terbatas.[2]
Pada tahun 1900, Bojonegoro termasuk dalam daerah administratif Rembang.
Kemudian daerah tersebut dipecah menjadi beberapa, antara lain; Baureno, Pelem,
dan Bojonegoro sendiri. Termasuk di dalamnya ada beberapa kota utama, yaitu,
Ngumpak, Padangan, Tambakrejo.[3]
Penders,
dalam bukunya Bojonegoro: 1900-1942,
menjelaskan tentang bojonegoro di zaman pra sejarah. Di tahun 1890, seorang
petugas kesehatan di kantor pelayanan Belanda, Eugene Dubois, menemukan fosil Phitencantropus Erectus.[4] Ia
menemukan di daerah Trinil, sekarang merupakan daerah admnistratif dari Kabupaten
Ngawi, kabupaten yang berada di selatan Bojonegoro. Artinya, daerah ini mempunyai nilai sejarah yang panjang.
Sejarah
Bojonegoro,
dulu termasuk dalam wilayah kerajaan majapahit, yang akhirnya setelah islam
masuk mengalami pergeseran dan masuk pada daerah administrrasi yang baru.
Setelah tidak menjadi bagian dari majapahit akhirnya bojonegoro masuk dalam
wilayah pajang dan kemudian demak. Pada tanggal 20 oktober 1677 status jipang
(bojonegoro) diubah statusnya dari kadipaten menjadi kabupaten. Pengubahan ini
dilakukan oleh wedana mancanegara wetan yang merangkap sebagai bupati I, yaitu
mas tumapel. Tahun 1725, pusat pemerintahan jipang di alihkan ke jipang
rajekwesi atau sekarang terletak sekitar sepuluh kilometer sebelah selatan dari
pusat kota bojonegoro. Sekarang, bojonegoro terdiri atas 28 kecamatan yang
dibagi lagi menjai 429 desa dan 11 kelurahan.
Bojonegoro: Kemiskinan
Dalam
laporan penders tentang bojonegoro, disana ia menyebutkan bahwa, bojonegro teah
mengalami kmiskinan yang luar biasa. Terlebih pada tahunn 1900-1920. Dari sekelompok
pasien yang dibawa kerumah sakit , maka hanya akan menyisakan setengahnya yang
masih hidup. Keadaan yang seperti ini sebenarnya disebabkan oleh keadaan alami.
Bojonegoro selalu terkena bencana banjir saat musim penghujan yang berasal dari
luapan bengawan solo, dan selalu kekeringan pula saat kemarau karena sebagian
besar wilayahnya terdiri dari tanah kapur. Keadaan ini pada akhirnya mendorong
pemerintah colonial untuk membuat waduk di daerah temayang, atau dikenal
sebagai waduk pacal.
Pada
tahun 1930an, berdasar laporan dari gubernur pada waktu itu[5]
masyarakat bojonegoro mayoritas bermata pencaharian sebagai petani. Pada waktu
itu hanya ada satu perusahaan pertanian asing yang artinya mereka tidak banyak
bekerja sebagai buruh perusahaan. Perusahaan itu adalah British-American Tobacco Company (BAT)[6].
Pertanian rakyat pada waktu itu padi, jagung ketela, kedelai, dan kacang tanah.
Diantara tahun 1928-29, terjadi kegagalan panen yang cukup buruuk. Dikarenakan
musim penghujan yang terlambat datang, maka banyak jenid tanaman pertanian yang
akhirnya gagal panen. Hanya jagung rendengan (jagung musim penghujan) yang
dapat dipanen dengan baik di tahun kemudian 1929-30.[7]
[1]
Penders, bojonegoro 1900-1942. Hlm. 3
[2]
Memories van overgave, bojonegoro tahun 1930.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5]
Memories van overgave
[6]
Penyebutan tembakau BAT masih menjadi penyebutan yang popular hingga kini oleh
mayarakat bojonegporo yang bersinggungan dengan masalah pertanian dan produksi
temabakau.
[7]
Ibid.