Selasa, 03 Maret 2015

 “KERAJAAN MAKASAR (GOWA TALO)”

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/5/54/Logo_uny.gif

·         Rizky Aprevia Damayanti      (13407141009)
·         Muhammad Afiat Budi P       (13407141031)
·         Nurul Khasanah                    (13407141032)



FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
ILMU SEJARAH
2014

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar dan paling sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi. Wilayah kerajaan ini sekarang berada dibawah Kabupaten Gowa dan daerah sekitarnya yang dalam bingkai negara kesatuan RI dimekarkan menjadi Kotamadya Makassar dan kabupaten lainnya. Kerajaan ini memiliki raja yang paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang saat itu melakukan peperangan yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669) terhadap Belanda yang dibantu oleh Kerajaan Bone yang berasal dari Suku Bugis dengan rajanya Arung Palakka. Tapi perang ini bukan berati perang antar suku Makassar – suku Bugis, karena dipihak Gowa ada sekutu bugisnya demikian pula di pihak Belanda-Bone, ada sekutu Makassarnya. Politik Divide et Impera Belanda, terbukti sangat ampuh disini.[1] Perang Makassar ini adalah perang terbesar Belanda yang pernah dilakukannya diabad itu.
B.     Rumusan Masalah
Secara geografis daerah Sulawesi Selatan memiliki posisi yang sangat strategis, karena berada di jalur pelayaran (perdagangan Nusantara). Bahkan daerah Makasar menjadi pusat persinggahan para pedagang baik yang berasal dari Indonesia bagian Timur maupun yang berasal dari Indonesia bagian Barat. Dengan posisi strategis tersebut maka kerajaan Makasar berkembang menjadi kerajaan besar dan berkuasa atas jalur perdagangan Nusantara. Masing-masing kerajaan tersebut membentuk persekutuan sesuai dengan pilihan masing-masing. Kerajaan Gowa dan Tallo membentuk persekutuan pada tahun 1528, sehingga melahirkan suatu kerajaan yang lebih dikenal dengan sebutan kerajaan Makasar.

BAB II
PEMBAHASAN
Sampai abad ke-10 sejarah disini masih gelap karena kurangnya tanda-tanda/sumber-sumber sejarah mengenai Makassar, bahkan sampai abad ke-12. Gowa ataupun Makassar belum ditemukan/diketahui akan keberadaannya. Barulah pada abad ke-14 atau lebih tepatnya tahun 1364, sebuah buku dari peradaban di Pulau Jawa yaitu Negarakretagama karya Prapanca yang ditulis pada masa Gajah Mada. Prapanca menjelaskan bahwa pada saat itu Gowa belum terbentuk sebagai suatu kerajaan orang Makassar, Sulawesi Selatan.
Pada abad ke-16 kekuatan maritim Gowa sangat kuat. Kota Makassar yang sebagaimana kota pelabuhan sangat dikenal oleh dunia internasional. Dasar inilah yang menguatkan tumbuhnya kerajaan maritim Gowa. Sebuah sumber sejarah dari bangsa Portugis kembali menguatkan sejarah Gowa yang ditulis oleh Armando Cartesao yang diterbitkan tahun 1944 terjemahan ke dalam bahasa Inggris, Catatan Perjalanan Tome Pires, Suma Orientale (1513).
Ketika Gowa telah berkembang menjadi satu kerajaan yang melindungi semua negeri orang Makassar, sebagai sebuah kerajaan maritim, Gowa mengembangkan pangkalan armada niaga di Macini Sombala muara Sungai Jeneberang sampai ke utara antara Sungai Jeneberang dan Sungai Tallo. Seiring tumbuhnya kerajaan ini menjadi yang terutama di Sulawesi Selatan, tumbuh pula pelabuhan utamanya sebagai pusat perdagangan dari seputar Nusantara, orang Eropa, dan Cina.[2]
Pada awal abad ke-16, Raja Gowa IX yaitu Daeng Matanre Karaeng Tumapa’risi’ Kallona berkuasa. Dia berusaha memperluas daerah kerajaan Gowa ke daratan Sulawesi Selatan dan ia pun berhasil. Hasilnya dapat menaklukan Garassi, Kantingang, Parigi, Siang (Pangkajene), Sidenreng, Lembangan, Bulukumba, Selayar, Panaikang, Madollo, Cempaka, Marusu, Polombangkeng, dan lain-lain.
Raja Gowa IX membuat peraturan-peraturan dan mengangkat pejabat-pejabat kerajaan untuk urusan perbendaharaan kerajaan. Syahbandar mengurus pelabuhan Kerajaan Makassar. Syahbandar inilah yang menciptakan aksara (huruf Bugis-Makassar). Lalu berdiri pula benteng Somba Opu di daerah pelabuhan yang didalamnya terdapat istana kerajaan. Somba Opu itu sendiri adalah Ibu Kota Kerajaan Gowa.
“Raja ini tercatat dalam lontara’ orang Makassar sebagai raja yang terpuji dan sangat cendekia, baik kelakuannya dan lurus hati. Beliau pernah menjadi raja bawahan (gelarang), ketika digelar Kusiangri Juru.”[3] Pada masa kekuasaannyalah bangsa Portugis pertama berkunjung ke Gowa/Makassar pada tahun 1538. Beliau berkuasa selama 36 tahun, dan wafat pada tahun 1546.
Setelah Raja Gowa IX wafat, ia digantikan oleh putranya yang bernama I Mariogau’ Daeng Bonto yang bergelar Karaeng Lakiung. Dia memerintah pada usia 36 tahun dari 1546-1565 yang kurang lebih ia menjabat selama 18 tahun. Beliau dikatakan tidak terpuji karena kurang baik hati dan juga tidak dipandang sebagai orang yang berilmu. Tetapi beliau dikatakan sebagai seorang yang sangat berani dan cerdas di segala lapangan, sama seperti ayahnya, dia juga memperluas wilayah kerajaan dengan menaklukkan Bajeng, Langkese, Lamuru sampai dekat Sungai Walanae di Tanah Bugis, dan lain-lain. Beliau menarik upeti perang dari negeri-negeri yang ditaklukkannya. Beliau memaksakan perjanjian yang berbunyi Aku Bertitah, dan Kamu Tunduk Takluk Mengikuti Titahku.
I Mariogau’ Daeng Bonto merupakan yang pertama menempatkan segala sesuatu di dalam benteng, membuat timbangan, dacing, anak timbangan, dan gantang (takaran). Beliau juga menjadi raja pertama yang mengatur barisan meriam-meriam di benteng. Beliau juga menjadi orang Makassar pertama yang mengenal obat (bedil), melebur dan mencampur emas (dengan logam-logam lain) dan membuat batu bara. Beliau juga membuat dinding batu sekeliling negeri Gowa dan Somba Opu dari tanah liat.
Dapat dikatakan bahwa dasar-dasar untuk tumbuhnya satu kota, yaitu Makassar sebagai Ibu Kota Kerajaan Makassar (Gowa-Tallo) telah rampung dalam kekuasaan Raja Gowa IX, Tumapa’risi’ Kallona dan Raja Gowa X, Tunipalangga. Raja-raja berikutnya, tinggal melanjutkan pembinaan dasar-dasar itu dengan memberikannya warna yang jelas dalam perjalanan sejarah kehidupan Kota Makassar.[4]
Islamisasi Kerajaan Gowa
Penerimaan Islam pada beberapa tempat di Nusantara memperlihatkan dua pola yang berbeda. Pertama, Islam diterima oleh masyarakat bawah, kemudiaan berkembang dan diterima oleh masyarakat lapisan atas disebut bottom up. Kedua, Islam diterima langsung oleh elite penguasa kerajaan kemudian di sosialisasikan dan berkembang pada lapisan masyarakat bawah disebut top down. Penerimaan Islam di Gowa menurut penulis sejarah Islam, memperlihatkan pola yang kedua.
Kerajaan yang mula-mula memeluk Islam dengan resmi di Sulawesi Selatan adalah kerajaan kembar Gowa-Tallo. Tanggal peresmian Islam itu menurut lontara Gowa dan Tallo adalah malam Jum’at, 22 September 1605, atau 9 Jumadil Awal 1014 H. Dinyatakan bahwa Mangkubumi kerajaan Gowa / Raja Tallo I Mallingkaeng Daeng Manyonri mula-mula menerima dan mengucapkan kalimat Syahadat (Ia di beri gelar Sultan Abdullah Awwalul Islam) dan sesudah itu barulah raja Gowa ke-14 Mangenrangi Daeng Manrabia (Sultan Alauddin). Dua tahun kemudian seluruh rakyat Gowa-Tallo memeluk agama Islam berdasar atas prinsip cocius region eius religio, dengan diadakannya shalat Jumat pertama di masjid Tallo tanggal 9 November 1607 / 19 Rajab 1016 H.[5]
Adapun yang mengislamkan kedua raja tersebut ialah Datu ri Tiro (Abdul Makmur Chatib Bungsu) seorang ulama datang dari Minangkabau (Sumatera) ke Sulawesi Selatan bersama dua orang temannya yakni Datu Patimang (Chatib Sulaeman) yang mengislamkan pula Raja Luwu La Pataware Daeng Parabung dan Datu ri Tiro (Chatib Bungsu) yang menyebar Agama Islam di Tiro dan sekitarnya.[6]
Sekitar enam tahun kemudian, kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan pun menerima Islam. Penyebarannya didukung oleh Kerajaan Gowa sebagai pusat kekuatan pengislaman. Kerajaan bugis seperti Bone, Soppeng, Wajo dan Sidenreng, berhubung karena menolak, akhirnya Raja Gowa melakukan perang, karena juga dianggap menentang kekuasaan Raja Gowa. Setelah takluk, penyebaran Islam dapat dilakukan dengan mudah di Kerajaan Bugis.
Masa Kemunduran dan Keruntuhan
Peperangan demi peperangan melawan Belanda dan bangsanya sendiri (Bone) yang dialami Gowa, membuat banyak kerugian. Kerugian itu sedikit banyaknya membawa pengaruh terhadap perekonomian Gowa. Sejak kekalahan Gowa dengan Belanda terutama setelah hancurnya benteng Somba Opu, maka sejak itu pula keagungan Gowa yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya akhirnya mengalami kemunduran. Akibat perjanjian Bongaya,[7] pada tanggal 18 November 1667 sultan Hasanuddin Tunduk.[8] Dalam perjanjian itu, nyatalah kekalahan Makassar. Pardagangannya telah habis dan negeri-negeri yang di taklukkannya harus dilepaskan. Apalagi sejak Arum Palakka menaklukkan hamper seluruh daratan Sulawesi Selatan dan berkedudukan di Makassar, maka banyak orang Bugis yang pindah di Makassar. Sejak itu pula penjajahan Belanda mulai tertanam secara penuh di Indonesia.
Makassar, sebagai ibukota kerajaan Gowa mengalami pengalihan-pengalihan baik dari segi penguasaan maupun perkembangan-perkembangannya. Pengaruh kekuasaan gowa makin lama makin tidak terasa di kalangan penduduk Makassar yang kebanyakan pengikut Arum Palaka dan Belanda . Benteng Somba Opu yang selama ini menjadi pusat politik menjadi kosong dan sepi. Pemerintahan kerajaan Gowa yang telah mengundurkan diri dari Makassar (Yang berada dalam masa peralihan) ke Kale Gowa dan Maccini Sombalatidak dapat dalam waktu yang cepat memulihkan diri untuk menciptakan stabilitas dalam negeri. Namun demikian Sultan Hasanuddin telah menunjukkan perjuangannya yang begitu gigih untuk membela tanah air dari cengkraman penjajah. Sebagai tanda jasa atas perjuangan Sultan Hasanuddin, Pemerintah Republik Indonesiaatas SK Presiden No. 087/TK/1973 tanggal 10 November 1973 menganugerahi beliau sebagai Pahlawan Nasional.
Demikian Gowa telah mengalami pasang surut dalam perkembangan sejak Raja Gowa pertama, Tumanurung (abad 13) hingga mencapai puncak keemasannya pada abad XVIII kemudian sampai mengalami transisi setelah bertahun-tahun berjuang menghadapi penjajahan. Dalam pada itu, sistem pemerintahanpun mengalami transisi di masa Raja Gowa XXXVI Andi Idjo Karaeng Lalolang, setelah menjadi bagian Republik Indonesia yang merdeka dan bersatu, berubah bentuk dari kerajaan menjadi daerah tingkat II Otonom. Sehingga dengan perubahan tersebut, Andi Idjo pun tercatat dalam sejarah sebagai Raja Gowa terakhir dan sekaligus Bupati Gowa pertama.



BAB III
KESIMPULAN
Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar dan paling sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi. Sejak Gowa Tallo sebagai pusat perdagangan laut, kerajaan ini menjalin hubungan dengan Ternate yang sudah menerima Islam dari Gresik. Raja Ternate yakni Baabullah mengajak raja Gowa Tallo untuk masuk Islam, tapi gagal. Baru pada masa Raja Datu Ri Bandang datang ke Kerajaan Gowa Tallo agama Islam mulai masuk ke kerajaan ini. Setahun kemudian hampir seluruh penduduk Gowa Tallo memeluk Islam. Makasar mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan Hasannudin (1653 – 1669). Daerah kekuasaan Makasar luas, seluruh jalur perdagangan di Indonesia Timur dapat dikuasainya. Sultan Hasannudin terkenal sebagai raja yang sangat anti kepada dominasi asing. Dalam peperangan melawan VOC, Sultan Hasannudin memimpin sendiri pasukannya untuk memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku. Akibatnya kedudukan Belanda semakin terdesak. Atas keberanian Sultan Hasannudin tersebut maka Belanda memberikan julukan padanya sebagai Ayam Jantan dari Timur.



DAFTAR PUSTAKA
Nugroho Notosusanto. 1975. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III : Zaman Pertumbuhan dan
Perkembangan Islam di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Hal.79.
Mattulada, 2011. Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah (1510-1700).
Yogyakarta: Ombak. Hal. 6
Politik Devide et impera. http://brainly.co.id/tugas/721442. Di akses 5 Desember 2014 (Pukul
12:21 WIB).
Desember 2014 (Pukul 12:21 WIB).




[1] Devide et impera merupakan politik pecah belah atau disebut juga dengan adu domba adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukan. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat.
[2] Mattulada, 2011. Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah (1510-1700). Yogyakarta: Ombak. Hal. 6
[3] Ibid., Hal. 7
[4] Ibid., Hal. 11
[5] Nugroho Notosusanto. 1975. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III : Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Islam di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Hal.79.
[6] Ibid., Hal. 80.
[7] Perjanjian Bungaya (sering juga disebut Bongaya atau Bongaja) adalah perjanjian perdamaian yang ditandatangani pada tanggal 18 November 1667 di Bungaya antara Kesultanan Gowa yang diwakili oleh Sultan Hasanuddin dan pihak Hindia Belanda yang diwakili oleh Laksamana Cornelis Speelman. Walaupun disebut perjanjian perdamaian, isi sebenarnya adalah deklarasi kekalahan Gowa dari VOC (Kompeni) serta pengesahan monopoli oleh VOC untuk perdagangan sejumlah barang di pelabuhan Makassar .
[8] Ibid., Hal. 82.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar