“KERAJAAN MAKASAR (GOWA TALO)”

·
Rizky
Aprevia Damayanti (13407141009)
·
Muhammad
Afiat Budi P (13407141031)
·
Nurul
Khasanah (13407141032)
FAKULTAS
ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS
NEGERI YOGYAKARTA
ILMU
SEJARAH
2014
BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah
salah satu kerajaan besar dan paling sukses
yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang berdiam
di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi.
Wilayah kerajaan ini sekarang berada dibawah Kabupaten Gowa dan daerah sekitarnya yang dalam bingkai
negara kesatuan RI dimekarkan menjadi Kotamadya
Makassar dan kabupaten lainnya. Kerajaan ini memiliki raja yang paling terkenal bergelar Sultan
Hasanuddin, yang saat itu melakukan peperangan yang
dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669) terhadap Belanda yang dibantu oleh Kerajaan Bone yang berasal dari
Suku Bugis dengan rajanya Arung Palakka. Tapi
perang ini bukan berati perang antar suku Makassar – suku Bugis, karena dipihak
Gowa ada sekutu bugisnya demikian pula di pihak Belanda-Bone, ada sekutu Makassarnya. Politik Divide et Impera
Belanda, terbukti sangat ampuh disini.[1] Perang Makassar ini adalah perang
terbesar Belanda yang pernah dilakukannya diabad itu.
B. Rumusan
Masalah
Secara geografis daerah Sulawesi Selatan
memiliki posisi yang sangat strategis, karena berada
di jalur pelayaran (perdagangan Nusantara). Bahkan daerah Makasar menjadi pusat persinggahan para pedagang
baik yang berasal dari Indonesia bagian
Timur maupun yang berasal dari Indonesia bagian Barat. Dengan posisi strategis tersebut maka kerajaan Makasar
berkembang menjadi kerajaan besar dan berkuasa
atas jalur perdagangan Nusantara. Masing-masing kerajaan tersebut membentuk persekutuan sesuai dengan pilihan
masing-masing. Kerajaan Gowa dan Tallo membentuk
persekutuan pada tahun 1528, sehingga melahirkan suatu kerajaan yang lebih dikenal dengan sebutan kerajaan
Makasar.
BAB
II
PEMBAHASAN
Sampai
abad ke-10 sejarah disini masih gelap karena kurangnya tanda-tanda/sumber-sumber
sejarah mengenai Makassar, bahkan sampai abad ke-12. Gowa ataupun Makassar
belum ditemukan/diketahui akan keberadaannya. Barulah pada abad ke-14 atau
lebih tepatnya tahun 1364, sebuah buku dari peradaban di Pulau Jawa yaitu Negarakretagama karya Prapanca yang
ditulis pada masa Gajah Mada. Prapanca menjelaskan bahwa pada saat itu Gowa
belum terbentuk sebagai suatu kerajaan orang Makassar, Sulawesi Selatan.
Pada
abad ke-16 kekuatan maritim Gowa sangat kuat. Kota Makassar yang sebagaimana kota
pelabuhan sangat dikenal oleh dunia internasional. Dasar inilah yang menguatkan
tumbuhnya kerajaan maritim Gowa. Sebuah sumber sejarah dari bangsa Portugis
kembali menguatkan sejarah Gowa yang ditulis oleh Armando Cartesao yang
diterbitkan tahun 1944 terjemahan ke dalam bahasa Inggris, Catatan Perjalanan
Tome Pires, Suma Orientale (1513).
Ketika
Gowa telah berkembang menjadi satu kerajaan yang melindungi semua negeri orang
Makassar, sebagai sebuah kerajaan maritim, Gowa mengembangkan pangkalan armada
niaga di Macini Sombala muara Sungai Jeneberang sampai ke utara antara Sungai
Jeneberang dan Sungai Tallo. Seiring tumbuhnya kerajaan ini menjadi yang
terutama di Sulawesi Selatan, tumbuh pula pelabuhan utamanya sebagai pusat
perdagangan dari seputar Nusantara, orang Eropa, dan Cina.[2]
Pada
awal abad ke-16, Raja Gowa IX yaitu Daeng Matanre Karaeng Tumapa’risi’ Kallona
berkuasa. Dia berusaha memperluas daerah kerajaan Gowa ke daratan Sulawesi
Selatan dan ia pun berhasil. Hasilnya dapat menaklukan Garassi, Kantingang,
Parigi, Siang (Pangkajene), Sidenreng, Lembangan, Bulukumba, Selayar,
Panaikang, Madollo, Cempaka, Marusu, Polombangkeng, dan lain-lain.
Raja
Gowa IX membuat peraturan-peraturan dan mengangkat pejabat-pejabat kerajaan
untuk urusan perbendaharaan kerajaan. Syahbandar mengurus pelabuhan Kerajaan
Makassar. Syahbandar inilah yang menciptakan aksara (huruf Bugis-Makassar).
Lalu berdiri pula benteng Somba Opu di daerah pelabuhan yang didalamnya
terdapat istana kerajaan. Somba Opu itu sendiri adalah Ibu Kota Kerajaan Gowa.
“Raja
ini tercatat dalam lontara’ orang
Makassar sebagai raja yang terpuji dan sangat cendekia, baik kelakuannya dan
lurus hati. Beliau pernah menjadi raja bawahan (gelarang), ketika digelar Kusiangri Juru.”[3]
Pada masa kekuasaannyalah bangsa Portugis pertama berkunjung ke Gowa/Makassar
pada tahun 1538. Beliau berkuasa selama 36 tahun, dan wafat pada tahun 1546.
Setelah
Raja Gowa IX wafat, ia digantikan oleh putranya yang bernama I Mariogau’ Daeng
Bonto yang bergelar Karaeng Lakiung. Dia memerintah pada usia 36 tahun dari
1546-1565 yang kurang lebih ia menjabat selama 18 tahun. Beliau dikatakan tidak
terpuji karena kurang baik hati dan juga tidak dipandang sebagai orang yang
berilmu. Tetapi beliau dikatakan sebagai seorang yang sangat berani dan cerdas
di segala lapangan, sama seperti ayahnya, dia juga memperluas wilayah kerajaan
dengan menaklukkan Bajeng, Langkese, Lamuru sampai dekat Sungai Walanae di
Tanah Bugis, dan lain-lain. Beliau menarik upeti perang dari negeri-negeri yang
ditaklukkannya. Beliau memaksakan perjanjian yang berbunyi Aku Bertitah, dan Kamu Tunduk Takluk Mengikuti Titahku.
I
Mariogau’ Daeng Bonto merupakan yang pertama menempatkan segala sesuatu di
dalam benteng, membuat timbangan, dacing,
anak timbangan, dan gantang (takaran).
Beliau juga menjadi raja pertama yang mengatur barisan meriam-meriam di
benteng. Beliau juga menjadi orang Makassar pertama yang mengenal obat (bedil),
melebur dan mencampur emas (dengan logam-logam lain) dan membuat batu bara.
Beliau juga membuat dinding batu sekeliling negeri Gowa dan Somba Opu dari
tanah liat.
Dapat
dikatakan bahwa dasar-dasar untuk tumbuhnya satu kota, yaitu Makassar sebagai
Ibu Kota Kerajaan Makassar (Gowa-Tallo) telah rampung dalam kekuasaan Raja Gowa
IX, Tumapa’risi’ Kallona dan Raja Gowa X, Tunipalangga. Raja-raja berikutnya,
tinggal melanjutkan pembinaan dasar-dasar itu dengan memberikannya warna yang
jelas dalam perjalanan sejarah kehidupan Kota Makassar.[4]
Islamisasi Kerajaan Gowa
Penerimaan
Islam pada beberapa tempat
di Nusantara memperlihatkan dua pola yang berbeda. Pertama, Islam diterima oleh masyarakat bawah,
kemudiaan berkembang dan diterima oleh masyarakat
lapisan atas disebut bottom up. Kedua, Islam diterima langsung oleh elite penguasa kerajaan kemudian di sosialisasikan dan berkembang pada
lapisan masyarakat bawah disebut top down.
Penerimaan Islam di Gowa menurut penulis sejarah
Islam, memperlihatkan pola yang kedua.
Kerajaan
yang mula-mula memeluk Islam
dengan resmi di Sulawesi Selatan adalah kerajaan kembar Gowa-Tallo. Tanggal peresmian Islam itu menurut
lontara Gowa dan Tallo adalah malam Jum’at, 22
September 1605, atau 9 Jumadil Awal 1014 H. Dinyatakan bahwa Mangkubumi kerajaan Gowa / Raja Tallo I
Mallingkaeng Daeng Manyonri mula-mula menerima dan mengucapkan kalimat Syahadat (Ia di beri
gelar Sultan Abdullah Awwalul Islam) dan
sesudah itu barulah raja Gowa ke-14 Mangenrangi Daeng Manrabia (Sultan Alauddin). Dua tahun kemudian seluruh
rakyat Gowa-Tallo memeluk agama Islam berdasar
atas prinsip cocius region eius religio, dengan diadakannya shalat Jumat pertama di masjid Tallo tanggal 9
November 1607 / 19 Rajab 1016 H.[5]
Adapun
yang mengislamkan kedua raja tersebut
ialah Datu ri Tiro (Abdul Makmur
Chatib Bungsu) seorang ulama
datang dari Minangkabau (Sumatera) ke Sulawesi Selatan bersama dua orang temannya yakni Datu Patimang
(Chatib Sulaeman) yang mengislamkan pula Raja
Luwu La Pataware Daeng Parabung dan Datu ri Tiro (Chatib Bungsu) yang menyebar Agama Islam di Tiro dan
sekitarnya.[6]
Sekitar
enam tahun kemudian, kerajaan
lainnya di Sulawesi Selatan pun menerima Islam. Penyebarannya didukung oleh
Kerajaan Gowa sebagai pusat kekuatan pengislaman. Kerajaan bugis seperti Bone, Soppeng, Wajo dan
Sidenreng, berhubung karena menolak, akhirnya Raja Gowa melakukan perang, karena juga
dianggap menentang kekuasaan
Raja Gowa. Setelah takluk, penyebaran Islam dapat dilakukan
dengan mudah di Kerajaan Bugis.
Masa Kemunduran
dan Keruntuhan
Peperangan
demi peperangan melawan Belanda
dan bangsanya sendiri (Bone) yang dialami Gowa, membuat banyak kerugian. Kerugian itu sedikit banyaknya
membawa pengaruh terhadap perekonomian Gowa.
Sejak kekalahan Gowa dengan Belanda terutama setelah hancurnya benteng Somba Opu, maka sejak itu pula keagungan
Gowa yang sudah berlangsung berabad-abad
lamanya akhirnya mengalami kemunduran. Akibat perjanjian Bongaya,[7] pada tanggal 18 November 1667 sultan Hasanuddin
Tunduk.[8]
Dalam perjanjian itu, nyatalah kekalahan
Makassar. Pardagangannya telah habis dan negeri-negeri yang di taklukkannya
harus dilepaskan. Apalagi sejak Arum
Palakka menaklukkan hamper seluruh
daratan Sulawesi Selatan dan berkedudukan di Makassar, maka banyak orang Bugis yang pindah di Makassar. Sejak itu
pula penjajahan Belanda mulai tertanam secara
penuh di Indonesia.
Makassar,
sebagai ibukota kerajaan Gowa
mengalami pengalihan-pengalihan baik dari segi penguasaan maupun perkembangan-perkembangannya. Pengaruh
kekuasaan gowa makin lama makin tidak terasa
di kalangan penduduk Makassar yang kebanyakan pengikut Arum Palaka dan Belanda . Benteng Somba Opu yang selama ini menjadi
pusat politik menjadi kosong
dan sepi. Pemerintahan kerajaan Gowa yang telah mengundurkan diri dari Makassar (Yang berada dalam masa
peralihan) ke Kale Gowa dan Maccini Sombalatidak dapat dalam waktu yang cepat
memulihkan diri untuk menciptakan stabilitas dalam
negeri. Namun demikian Sultan Hasanuddin telah menunjukkan perjuangannya yang begitu gigih untuk membela tanah
air dari cengkraman penjajah. Sebagai tanda
jasa atas perjuangan Sultan Hasanuddin, Pemerintah Republik Indonesiaatas SK
Presiden No. 087/TK/1973 tanggal 10 November 1973 menganugerahi beliau sebagai Pahlawan Nasional.
Demikian
Gowa telah mengalami pasang surut
dalam perkembangan sejak Raja Gowa pertama, Tumanurung (abad 13) hingga mencapai puncak keemasannya pada abad
XVIII kemudian sampai mengalami transisi setelah
bertahun-tahun berjuang menghadapi penjajahan. Dalam pada itu, sistem pemerintahanpun
mengalami transisi di masa Raja Gowa XXXVI Andi Idjo Karaeng Lalolang, setelah menjadi bagian
Republik Indonesia yang merdeka dan bersatu, berubah
bentuk dari kerajaan menjadi daerah tingkat II Otonom. Sehingga dengan perubahan tersebut, Andi Idjo pun
tercatat dalam sejarah sebagai Raja Gowa terakhir
dan sekaligus Bupati Gowa pertama.
BAB
III
KESIMPULAN
Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah
salah satu kerajaan besar dan paling sukses
yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang berdiam
di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi.
Sejak Gowa Tallo sebagai pusat perdagangan laut, kerajaan ini menjalin hubungan dengan Ternate
yang sudah menerima Islam dari Gresik. Raja
Ternate yakni Baabullah mengajak raja Gowa Tallo untuk masuk Islam, tapi gagal. Baru pada masa Raja Datu Ri
Bandang datang ke Kerajaan Gowa Tallo agama Islam
mulai masuk ke kerajaan ini. Setahun kemudian hampir seluruh penduduk Gowa
Tallo memeluk Islam. Makasar mencapai puncak kebesarannya pada masa
pemerintahan Sultan Hasannudin
(1653 – 1669). Daerah kekuasaan Makasar luas, seluruh jalur perdagangan di Indonesia Timur dapat
dikuasainya. Sultan Hasannudin terkenal sebagai
raja yang sangat anti kepada dominasi asing. Dalam peperangan melawan VOC, Sultan Hasannudin memimpin sendiri
pasukannya untuk memporak-porandakan pasukan
Belanda di Maluku. Akibatnya kedudukan Belanda semakin terdesak. Atas keberanian Sultan Hasannudin tersebut
maka Belanda memberikan julukan padanya sebagai
Ayam Jantan dari Timur.
DAFTAR
PUSTAKA
Nugroho Notosusanto. 1975. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III : Zaman Pertumbuhan dan
Perkembangan Islam di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Hal.79.
Mattulada,
2011. Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar
dalam Sejarah (1510-1700).
Yogyakarta:
Ombak. Hal. 6
12:21 WIB).
Desember 2014 (Pukul 12:21 WIB).
[1]
Devide et impera merupakan
politik pecah belah atau disebut juga dengan adu domba adalah kombinasi
strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga
kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil
yang lebih mudah ditaklukan. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga
berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok
besar yang lebih kuat.
[2] Mattulada, 2011. Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam
Sejarah (1510-1700). Yogyakarta: Ombak. Hal. 6
[3] Ibid., Hal. 7
[4] Ibid., Hal. 11
[5] Nugroho
Notosusanto. 1975. Sejarah Nasional
Indonesia Jilid III : Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Islam di Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka. Hal.79.
[7]
Perjanjian
Bungaya (sering juga disebut Bongaya atau Bongaja) adalah perjanjian perdamaian
yang ditandatangani pada tanggal 18 November 1667 di Bungaya antara Kesultanan
Gowa yang diwakili oleh Sultan Hasanuddin dan pihak Hindia Belanda yang
diwakili oleh Laksamana Cornelis Speelman. Walaupun disebut perjanjian
perdamaian, isi sebenarnya adalah deklarasi kekalahan Gowa dari VOC (Kompeni)
serta pengesahan monopoli oleh VOC untuk perdagangan sejumlah barang di
pelabuhan Makassar .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar