Judul :
Santri dan Abangan di Jawa
Penulis :
Zaini Muchtarom
Penerbit :
INIS, 1988
Bahasa : Indonesia
Jumlah halaman : 83
Resume buku :
Islam di Jawa
pada awal masa pertumbuhannya sangat di warnai oleh kebudayaan Jawa. Ini
disebabkan unsure-unsur para bangsawan Jawa meletarikan tradisi Jawa Hindu, dan
juga karena para wali, sebagian angkatan pertama mubalig Islam, di didik dalam
lingkungan Jawa. Mereka tidak mempunyai hubungan langsung dengan Dunia Islam di
Timur Tengah.
Agar orang dapat
mengerti masyarakat Muslimin di Jawa, diperlukanlah tafsiran sejarah yang
berjalan melalui dua dimensi, yaitu santri
dan abangan. Sejarah Islam di Jawa hampir
merupakan sejarah peradaban kaum Muslimin ortodoks atau santri; sedangkan
sejarah golongan abangan (yang tidak kalah banyak jumlahnya dari kaum santri)
hingga kini hampir tidak disentuh. Agama Islam menyajikan satu jalan fikiran
tanpa memaksa fikiran orang Jawa untuk menyelidiki kekuatan-kekuatan alam
semesta. Oleh karena itu fikiran orang Jawa dengan mudah menerima agama Islam
dan merasa cocok dengannya.
Dalam arti luas
dan lebih biasa, istilah santri mengacu kepada segolongan Muslim Jawa yang
menyatakan kebaktian yang paling sungguh-sungguh kepada agama Islam, dengan menjalankan
ibadah solat, siam (puasa), haji dan selanjutnya. Golongan orang Jawa lainnya
menerima Islam hanya sebagai keyakinan, yang jarang sekali menjalankan ibadah
menurut agama Islam dan masih berpegang pada kepercayaan Budha-Hindu dan
kepercayaan asli, disebut abangan.
Abangan adalah
sebutan untuk golongan penduduk Jawa Muslim yang mempraktikkan Islam dalam
versi yang lebih sinkretis bila dibandingkan dengan golongan santri yang
lebih ortodoks. Istilah ini, yang berasal dari kata bahasa Jawa yang
berarti merah, pertama kali digunakakan oleh Clifford Geertz, namun saat
ini maknanya telah bergeser. Abangan cenderung mengikuti system kepercayaan
lokal yang disebut adat daripada hukum Islam murni (syariah). Dalam
sistem kepercayaan tersebut terdapat tradisi tradisi Hindu, Buddha,
dan animisme.
Namun beberapa
sarjana berpendapat bahwa apa yang secara klasik dianggap bentuk varian Islam
di Indonesia, seringkali merupakan bagian dari agama itu sendiri di negara
lain. Sebagai contoh, Martin van Bruinessen mencatat adanya kesamaan
antara adat dan praktik yang dilakukan dahulu kala di kalangan umat
Islam di Mesir.
Berdasarkan
cerita masyarakat, kata abangan diperkirakan berasal dari kata Bahasa
Arab aba'an. Lidah orang Jawa membaca huruf
'ain menjadi ngain. Artiaba'an kurang lebih adalah "yang
tidak konsekwen" atau "yang meninggalkan". Jadi para ulama
dulu memberikan julukan kepada para orang yang sudah masuk Islam tapi tidak
menjalankan syari'at (Bahasa Jawa: sarengat) adalah
kaum aba'an atau abangan. Jadi, kata "abang" di sini
bukan dari kata Bahasa Jawa abangyang berarti warna merah.
Telaah tentang
santri dan abangan ini dengan demikian telah dibuat melalui pendekatan terpadu
serta berurusan dengan peristiwa-peristiwa bersejarah sebagai pengejawantahan
suatu perbedaan religius yang berakar dalam, di samping hal-hal yang tersirat
di dalamnya berkenaan dengan kehidupan sosial dan politik di Jawa.
Dalam perjalanan
sejarah, Muslimin Jawa telah terbelah dua menjadi santri dan abangan sebagai
pertumbuhan sinambung dari latar belakang sosial dan lingkungan yang berlainan.
Proses ini menghasilkan dua golongan yang terpilah secara tipologi dengan
cita-cita dan haluan berbeda-beda. Tidak heran, terkadang sulit untuk mengerti
bagaimana Islam menjadi beraneka warna dalam amalnya dan rupanya terpengaruh
oleh unsur-unsur Hindu-Budha dan pribumi.
Banyak faktor
sosial, budaya, ekonomi, dan politik telah mempengaruhi pertumbuhan kedua
golongan ini. Khususnya struktur pengislamannya serta kelonggaran-kelonggaran
yang diberikan kepada adat lama telah meratakan jalan bagi terjadinya golongan
tersebut. Sementara sebagian terbesar orang Jawa menganut agama Islam, terdapat
variasi yang luas dalam pengamalan agama tersebut. Karena itu jika orang
memberikan perhatian kepada golongan santri dan abangan di Jawa, hal ini akan memungkinkan
pengertian yang lebih baik tentang Islam sebagaimana dianut oleh penduduk di
pulau ini.
Perbedaan umum
antara golongan santri dan golongan abangan dapat dilihat dalam berbagai segi
mengenai ajaran dan soal-soal organisasi sosial. Di antara kaum santri
perhatian terhadap ajaran Islam hampir seluruhnya mengatasi semua segi
upacaranya; lagi pula mereka menegaskan penerapan ajaran Islam ke dalam
kehidupan, sementara para abangan rupanya acuh tak acuh terhadap ajarannya,
sebaliknya lebih terpukau oleh perincian upacaranya.
Dalam hal
organisasi sosial, Islam di pandang oleh golongan santri sebagai rangkaian
lingkaran-lingkaran sosial yang meningkatkan diri setiap pribadi sampai suatu
umat dan bahkan ke seluruh dunia Islam; sebaliknya bagi golongan abangan tidak
ada umat beragama organik yang nyata. Semata-mata keikut sertaan mereka dalam
suatu tradisi yang sama sudah merupakan keselarasan dalam kegiatan-kegeiatan
agama.
Perluasan ortodiksi
Islam yang cepat di Jawa sebagai hasil bertambahnya jumlah kaum haji, kiyai,
ulama dan pesantren, maupun mengalirnya orang-orang Arab Hadramaut ke Jawa,
cenderung untuk memperkuat satu agama islam yang seragam melalui pendidikan dan
penerbitan buku-buku agama, serta melalui kegiatan Departemen Agama. Ada
beberapa kepercayaan dan adat istiadat asli yang berangsur-angsur tersingkir
sepanjang perjalanan zaman, tetapi banyak di antaranya tetap seperti dahulu.
Itulah sebabnya mengapa keberadaan santri dan abangan merupakan faktor yang tak
dapat di tinggalkan dalam masyarakat Muslimin Jawa.
Bilamanapun
orang santri dan abangan memainkan peranan politik yang semakin penting di Jawa,
maka persaingan antara kekuatan politik Islam berupa santri dengan kekuasaan
politik non-religius beruapa abangan menjadi salah satu faktor penentu bagi
sejarah social dan politik Jawa di Negara Indonesia Merdeka. Selama awal
kemerdekaan, aliran fikiran liberal, demokrat dan sosialis menyatu dengan
aliran nasionalisme dan dan menghasilkan perumusan ideologi yang terpaksa
berhadapan dengan Islam.
Sikap-sikap
politik golongan santri dan abangan berbeda di bawah pengaruh ideologi-ideologi
politik yang berlainan. Suatu contoh ialah pertentangan tentang ideologi
Pancasila dan Islam sebagai dasar Negara. Akibatnya; kekuatan-kekuatan politik
golongan santri dan abangan menjadi terbagi dan saling bersaing untuk mendapat
dukungan dan pengaruh.
Di antara
sebab-sebab kegagalan Islam untuk menjadi kekuasaan politik yang terkemuka
terdapat rupanya: kekurangan persatuan antara kekuatan-kekuatan politik
Muslimin, kemampuan terbatas untuk mengarahkan kekuatan Muslimin dalam
pemerintah dan politik, serta kecenderungan kearah eksklusivisme (serba
menyendiri) golongan abangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar