Selasa, 03 Maret 2015

SANTRI DAN ABANGAN DI JAWA


Judul                           : Santri dan Abangan di Jawa
Penulis                         : Zaini Muchtarom
Penerbit                       : INIS, 1988
Bahasa                         : Indonesia
Jumlah halaman           : 83
Resume buku               :          
Islam di Jawa pada awal masa pertumbuhannya sangat di warnai oleh kebudayaan Jawa. Ini disebabkan unsure-unsur para bangsawan Jawa meletarikan tradisi Jawa Hindu, dan juga karena para wali, sebagian angkatan pertama mubalig Islam, di didik dalam lingkungan Jawa. Mereka tidak mempunyai hubungan langsung dengan Dunia Islam di Timur Tengah.
Agar orang dapat mengerti masyarakat Muslimin di Jawa, diperlukanlah tafsiran sejarah yang berjalan melalui dua dimensi, yaitu santri dan abangan. Sejarah Islam di Jawa hampir merupakan sejarah peradaban kaum Muslimin ortodoks atau santri; sedangkan sejarah golongan abangan (yang tidak kalah banyak jumlahnya dari kaum santri) hingga kini hampir tidak disentuh. Agama Islam menyajikan satu jalan fikiran tanpa memaksa fikiran orang Jawa untuk menyelidiki kekuatan-kekuatan alam semesta. Oleh karena itu fikiran orang Jawa dengan mudah menerima agama Islam dan merasa cocok dengannya.
Dalam arti luas dan lebih biasa, istilah santri mengacu kepada segolongan Muslim Jawa yang menyatakan kebaktian yang paling sungguh-sungguh kepada agama Islam, dengan menjalankan ibadah solat, siam (puasa), haji dan selanjutnya. Golongan orang Jawa lainnya menerima Islam hanya sebagai keyakinan, yang jarang sekali menjalankan ibadah menurut agama Islam dan masih berpegang pada kepercayaan Budha-Hindu dan kepercayaan asli, disebut abangan.
Abangan adalah sebutan untuk golongan penduduk Jawa Muslim yang mempraktikkan Islam dalam versi yang lebih sinkretis bila dibandingkan dengan golongan santri yang lebih ortodoks. Istilah ini, yang berasal dari kata bahasa Jawa yang berarti merah, pertama kali digunakakan oleh Clifford Geertz, namun saat ini maknanya telah bergeser. Abangan cenderung mengikuti system kepercayaan lokal yang disebut adat daripada hukum Islam murni (syariah). Dalam sistem kepercayaan tersebut terdapat tradisi tradisi Hindu, Buddha, dan animisme.
Namun beberapa sarjana berpendapat bahwa apa yang secara klasik dianggap bentuk varian Islam di Indonesia, seringkali merupakan bagian dari agama itu sendiri di negara lain. Sebagai contoh, Martin van Bruinessen mencatat adanya kesamaan antara adat dan praktik yang dilakukan dahulu kala di kalangan umat Islam di Mesir.
Berdasarkan cerita masyarakat, kata abangan diperkirakan berasal dari kata Bahasa Arab aba'an. Lidah orang Jawa membaca huruf 'ain menjadi ngain. Artiaba'an kurang lebih adalah "yang tidak konsekwen" atau "yang meninggalkan". Jadi para ulama dulu memberikan julukan kepada para orang yang sudah masuk Islam tapi tidak menjalankan syari'at (Bahasa Jawa: sarengat) adalah kaum aba'an atau abangan. Jadi, kata "abang" di sini bukan dari kata Bahasa Jawa abangyang berarti warna merah.
Telaah tentang santri dan abangan ini dengan demikian telah dibuat melalui pendekatan terpadu serta berurusan dengan peristiwa-peristiwa bersejarah sebagai pengejawantahan suatu perbedaan religius yang berakar dalam, di samping hal-hal yang tersirat di dalamnya berkenaan dengan kehidupan sosial dan politik di Jawa.
Dalam perjalanan sejarah, Muslimin Jawa telah terbelah dua menjadi santri dan abangan sebagai pertumbuhan sinambung dari latar belakang sosial dan lingkungan yang berlainan. Proses ini menghasilkan dua golongan yang terpilah secara tipologi dengan cita-cita dan haluan berbeda-beda. Tidak heran, terkadang sulit untuk mengerti bagaimana Islam menjadi beraneka warna dalam amalnya dan rupanya terpengaruh oleh unsur-unsur Hindu-Budha dan pribumi.
Banyak faktor sosial, budaya, ekonomi, dan politik telah mempengaruhi pertumbuhan kedua golongan ini. Khususnya struktur pengislamannya serta kelonggaran-kelonggaran yang diberikan kepada adat lama telah meratakan jalan bagi terjadinya golongan tersebut. Sementara sebagian terbesar orang Jawa menganut agama Islam, terdapat variasi yang luas dalam pengamalan agama tersebut. Karena itu jika orang memberikan perhatian kepada golongan santri dan abangan di Jawa, hal ini akan memungkinkan pengertian yang lebih baik tentang Islam sebagaimana dianut oleh penduduk di pulau ini.
Perbedaan umum antara golongan santri dan golongan abangan dapat dilihat dalam berbagai segi mengenai ajaran dan soal-soal organisasi sosial. Di antara kaum santri perhatian terhadap ajaran Islam hampir seluruhnya mengatasi semua segi upacaranya; lagi pula mereka menegaskan penerapan ajaran Islam ke dalam kehidupan, sementara para abangan rupanya acuh tak acuh terhadap ajarannya, sebaliknya lebih terpukau oleh perincian upacaranya.
Dalam hal organisasi sosial, Islam di pandang oleh golongan santri sebagai rangkaian lingkaran-lingkaran sosial yang meningkatkan diri setiap pribadi sampai suatu umat dan bahkan ke seluruh dunia Islam; sebaliknya bagi golongan abangan tidak ada umat beragama organik yang nyata. Semata-mata keikut sertaan mereka dalam suatu tradisi yang sama sudah merupakan keselarasan dalam kegiatan-kegeiatan agama.
Perluasan ortodiksi Islam yang cepat di Jawa sebagai hasil bertambahnya jumlah kaum haji, kiyai, ulama dan pesantren, maupun mengalirnya orang-orang Arab Hadramaut ke Jawa, cenderung untuk memperkuat satu agama islam yang seragam melalui pendidikan dan penerbitan buku-buku agama, serta melalui kegiatan Departemen Agama. Ada beberapa kepercayaan dan adat istiadat asli yang berangsur-angsur tersingkir sepanjang perjalanan zaman, tetapi banyak di antaranya tetap seperti dahulu. Itulah sebabnya mengapa keberadaan santri dan abangan merupakan faktor yang tak dapat di tinggalkan dalam masyarakat Muslimin Jawa.
Bilamanapun orang santri dan abangan memainkan peranan politik yang semakin penting di Jawa, maka persaingan antara kekuatan politik Islam berupa santri dengan kekuasaan politik non-religius beruapa abangan menjadi salah satu faktor penentu bagi sejarah social dan politik Jawa di Negara Indonesia Merdeka. Selama awal kemerdekaan, aliran fikiran liberal, demokrat dan sosialis menyatu dengan aliran nasionalisme dan dan menghasilkan perumusan ideologi yang terpaksa berhadapan dengan Islam.
Sikap-sikap politik golongan santri dan abangan berbeda di bawah pengaruh ideologi-ideologi politik yang berlainan. Suatu contoh ialah pertentangan tentang ideologi Pancasila dan Islam sebagai dasar Negara. Akibatnya; kekuatan-kekuatan politik golongan santri dan abangan menjadi terbagi dan saling bersaing untuk mendapat dukungan dan pengaruh.

Di antara sebab-sebab kegagalan Islam untuk menjadi kekuasaan politik yang terkemuka terdapat rupanya: kekurangan persatuan antara kekuatan-kekuatan politik Muslimin, kemampuan terbatas untuk mengarahkan kekuatan Muslimin dalam pemerintah dan politik, serta kecenderungan kearah eksklusivisme (serba menyendiri) golongan abangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar